Apakah itu Thermal Comfort?

Thermal Comfort atau Kenyamanan termal adalah salah satu aspek yang sangat penting dalam merancang suatu bangunan, terutama ketika tujuannya adalah untuk menciptakan lingkungan yang nyaman bagi para penghuninya. Dalam dunia arsitektur, kenyamanan termal merujuk pada keadaan di mana seseorang merasakan kepuasan terhadap suhu lingkungan tanpa perlu melakukan penyesuaian fisik, seperti menyalakan kipas angin atau mengenakan pakaian tambahan. Pemahaman yang mendalam tentang kenyamanan termal tidak hanya berkontribusi pada kesejahteraan penghuni, tetapi juga meningkatkan efisiensi energi bangunan, karena sistem pengaturan suhu dapat dirancang dengan lebih optimal.

Daftar Isi

A.     Pendahuluan

 

B.     Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kenyamanan Termal

• Suhu udara

• Kelembaban relatif

• Kecepatan udara

• Suhu radiasi

• Laju metabolisme

• Isolasi pakaian

• Variasi individu dalam sensasi termal

 

C.     Model dan Standar Kenyamanan Termal

• PMV (Predicted Mean Vote)

• PPD (Predicted Percentage of Dissatisfied)

• Kenyamanan Termal Adaptif

• Standar ASHRAE 55

 

 

D.     Selubung Bangunan dan Kinerja Termal

·       Insulasi dan Penghalang Udara

·      Sistem Jendela dan Perangkat Peneduh

·      Orientasi Bangunan

·      Massa Termal

·      Strategi ventilasi dan Pendinginan Malam Hari

·      Phase-Change Materials (PCM)

 

 

A. Pendahuluan

Kenyamanan termal didefinisikan oleh American Society of Heating, Refrigerating and Air-Conditioning Engineers (ASHRAE) sebagai “kondisi pikiran yang mengungkapkan kepuasan terhadap lingkungan termal.” Konsep ini tidak hanya mengacu pada parameter fisik seperti suhu udara, kelembapan relatif, atau kecepatan angin, tetapi juga pada persepsi individu terhadap kondisi tersebut. Batas zona yang nyaman juga tidaklah mutlak, karena kenyamanan termal dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti: budaya / kebiasaan, waktu dalam setahun, kondisi kesehatan individu, jumlah lemak tubuh, jenis pakaian yang dikenakan, dan yang paling utama, aktivitas fisik yang sedang dilakukan.

Kenyamanan termal memiliki peran penting dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari, di antaranya:

 

1.     Kesejahteraan Penghuni

Kondisi termal yang optimal sangat berkontribusi terhadap kesehatan fisik dan mental penghuni. Misalnya, suhu yang sangat rendah dapat menyebabkan hipotermia, sementara suhu yang terlalu tinggi bisa menyebabkan dehidrasi atau kelelahan akibat panas.

 

2.     Produktivitas dan Fokus

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa lingkungan termal yang nyaman dapat meningkatkan produktivitas kerja hingga 15-20%. Hal ini terutama terlihat di ruang kerja atau institusi pendidikan, di mana kenyamanan dapat mendorong daya fokus dan efisiensi.

 

3.     Efisiensi Energi pada Bangunan

Desain bangunan yang memperhatikan kenyamanan termal dapat meningkatkan efisiensi sistem HVAC, yang pada gilirannya mengurangi konsumsi energi dan mendukung upaya mitigasi perubahan iklim.

 

4.     Keberlanjutan dalam Arsitektur

Kenyamanan termal merupakan salah satu indikator penting dalam sertifikasi bangunan hijau, seperti LEED dan EDGE. Desain yang berfokus pada kenyamanan termal mendukung prinsip keberlanjutan dengan memanfaatkan material lokal dan menerapkan strategi pasif untuk pengendalian suhu.

 

 

B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kenyamanan Termal

Terdapat dua faktor yang mempengaruhi kenyamanan termal suatu ruang yaitu faktor iklim/klimatik dan faktor parameter manusia/persepsi.

Faktor Iklim/Klimatik

Suhu Udara

Suhu udara merupakan salah satu faktor yang paling dominan dalam menentukan kenyamanan termal. Satuan yang digunakan untuk suhu udara adalah Celcius, Fahrenheit, Reamur, dan Celvin. Suhu udara merujuk pada suhu rata-rata udara di sekitar penghuni, yang dipengaruhi oleh faktor lokasi dan waktu. 

Berdasarkan ASHRAE Standard 55, saat penghuni dalam posisi duduk atau berdiri, pengukuran rata-rata spasial mempertimbangkan ketinggian pergelangan kaki, pinggang, dan kepala. Suhu udara diukur menggunakan termometer dry-bulb, yang juga dikenal dengan sebutan suhu dry-bulb. Istilah “dry-bulb” digunakan karena suhu yang terukur tidak dipengaruhi oleh kelembapan udara. 

Manusia dikatakan nyaman apabila suhu tubuhnya sekitar 37%. Suhu udara antara suatu daerah dengan daerah lainnya sangat berbeda. Hal ini disebabkan adanya beberapa faktor, seperti sudut datang sinar matahari, ketinggian suatu tempat, arah angin, arus laut, awan, dan lamanya penyinaran.

Suhu Radiasi Rata-rata

Suhu Radiasi Rata-rata (Mean Radiant Temperature atau MRT) adalah suhu yang menggambarkan suhu rata-rata dari semua permukaan di sekitar penghuni yang memancarkan radiasi panas, seperti dinding, langit-langit, lantai, atau jendela. MRT mencerminkan pengaruh panas yang diterima oleh tubuh manusia akibat radiasi termal dari permukaan-permukaan tersebut.

Suhu radiasi rata-rata sangat penting dalam menentukan kenyamanan termal, karena tubuh manusia tidak hanya dipengaruhi oleh suhu udara, tetapi juga oleh radiasi panas dari objek-objek di sekitarnya. Semakin tinggi MRT, semakin banyak radiasi panas yang diterima tubuh, yang dapat mempengaruhi persepsi kenyamanan seseorang dalam lingkungan tersebut.

MRT sering diukur dengan menggunakan sensor termal atau bola termometer yang dapat merespons radiasi panas, memberikan gambaran tentang kondisi lingkungan termal secara keseluruhan.

Kecepatan Udara

Kecepatan udara merujuk pada seberapa cepat udara bergerak di sekitar penghuni atau objek di dalam suatu ruang. Kecepatan udara mempengaruhi kenyamanan termal, karena dapat mempengaruhi distribusi panas di sekitar tubuh manusia. Udara yang bergerak dengan cepat dapat meningkatkan laju perpindahan panas dari tubuh, yang sering kali dianggap sebagai faktor pendinginan tambahan, sedangkan udara yang stagnan dapat menyebabkan rasa gerah atau tidak nyaman.

Menurut ASHRAE Standard 55, kecepatan udara didefinisikan sebagai laju aliran udara di sekitar tubuh penghuni. ASHRAE 55 menetapkan bahwa kecepatan udara yang ideal untuk kenyamanan termal biasanya berada dalam kisaran tertentu, tergantung pada suhu udara dan tingkat kelembapan. Kecepatan udara yang terlalu tinggi dapat menyebabkan ketidaknyamanan, sementara kecepatan yang terlalu rendah dapat membuat ruangan terasa pengap. Idealnya, kecepatan udara di ruang yang dihuni harus cukup rendah untuk menghindari rasa dingin yang berlebihan atau gangguan lainnya, tetapi cukup untuk memberikan kenyamanan termal yang baik.

Kelembapan Relatif

Kelembapan relatif adalah ukuran yang menunjukkan seberapa banyak uap air yang ada di udara dibandingkan dengan jumlah maksimum uap air yang dapat ditahan oleh udara pada suhu tertentu. Kelembapan relatif dinyatakan dalam bentuk persentase.

Secara lebih spesifik, kelembapan relatif dihitung dengan membandingkan tekanan uap air yang ada di udara dengan tekanan uap air maksimum yang dapat ditahan oleh udara pada suhu yang sama. Jika kelembapan relatif mencapai 100%, itu berarti udara sudah jenuh dengan uap air, dan tidak bisa lagi menahan uap air lebih banyak, yang bisa menyebabkan kondensasi.

Kelembapan relatif memainkan peran penting dalam kenyamanan termal manusia karena mempengaruhi kemampuan tubuh untuk mengatur suhu melalui penguapan keringat. Pada kelembapan tinggi, tubuh merasa lebih panas karena penguapan keringat menjadi lebih sulit, sedangkan pada kelembapan rendah, penguapan keringat terjadi lebih cepat, memberikan rasa dingin lebih cepat.

Faktor Parameter Manusia/Persepsi

Tingkat Metabolisme

Tingkat metabolisme setiap individu bervariasi dan dapat berubah-ubah tergantung pada berbagai faktor, seperti tingkat aktivitas fisik dan kondisi lingkungan tempat mereka berada. Menurut ASHRAE Standard 55-2010, tingkat metabolisme didefinisikan sebagai laju konversi energi kimia menjadi panas dan kerja mekanis yang dihasilkan melalui aktivitas metabolik dalam tubuh organisme. Proses ini merupakan bagian dari sistem fisiologis tubuh yang berperan dalam menghasilkan energi untuk mempertahankan fungsi tubuh. Faktor-faktor seperti usia, jenis kelamin, komposisi tubuh, serta intensitas aktivitas juga memengaruhi seberapa tinggi atau rendah tingkat metabolisme seseorang.

Tingkat metabolisme adalah ukuran dari energi yang dihasilkan tubuh melalui proses biokimia. Menurut teori metabolisme basal, tubuh manusia secara terus-menerus menghasilkan panas, bahkan saat dalam keadaan istirahat. Aktivitas fisik, seperti berlari, secara signifikan meningkatkan tingkat metabolisme, yang artinya lebih banyak panas diproduksi dibandingkan saat tubuh berada dalam keadaan diam. Metabolisme ini biasanya diukur dalam satuan “met,” di mana 1 met mencerminkan energi yang dihasilkan tubuh saat beristirahat.

Insulasi Pakaian yang Dikenakan

Insulasi termal dari pakaian yang dipakai seseorang berperan penting dalam mempengaruhi kenyamanan termal tubuh, karena dapat memengaruhi sejauh mana panas tubuh dapat hilang atau dipertahankan, yang pada gilirannya berdampak pada keseimbangan termal tubuh. Lapisan pakaian yang berfungsi sebagai insulasi berperan dalam mengurangi kehilangan panas dengan cara menjaga panas tubuh tetap terperangkap di dalamnya. Pakaian yang lebih tebal atau terbuat dari bahan dengan kemampuan isolasi tinggi biasanya memiliki tingkat insulasi yang lebih besar, yang membantu mempertahankan suhu tubuh dalam kondisi dingin. Sebaliknya, pakaian yang lebih tipis atau terbuat dari bahan dengan konduktivitas termal yang tinggi akan lebih memungkinkan panas tubuh untuk keluar, yang dapat meningkatkan rasa panas di lingkungan yang lebih hangat.

Fungsi insulasi termal pakaian diukur dalam satuan “clo”, dimana 1 clo setara dengan tingkat insulasi yang diberikan oleh pakaian formal standar. Pakaian yang lebih tebal atau berlapis-lapis meningkatkan resistansi terhadap kehilangan panas, sedangkan pakaian yang tipis atau terbuka memungkinkan lebih banyak panas keluar dari tubuh. Oleh karena itu, pemilihan pakaian yang tepat sangat penting untuk menjaga kenyamanan termal dalam berbagai kondisi lingkungan, baik itu dalam cuaca dingin maupun panas. 

C. Model dan Standar Kenyamanan Termal

Model kenyamanan termal adalah pendekatan matematis atau ilmiah yang digunakan untuk memprediksi dan menjelaskan bagaimana berbagai faktor lingkungan berinteraksi dengan respons fisiologis tubuh manusia. Model ini mempertimbangkan aspek-aspek seperti suhu udara, kelembapan, kecepatan udara, radiasi termal, dan pakaian yang dikenakan oleh individu. Salah satu model yang sering digunakan adalah model PMV-PPD (Predicted Mean Vote – Predicted Percentage Dissatisfied), yang dirancang untuk mengukur seberapa nyaman atau tidak nyaman seseorang dalam suatu kondisi termal berdasarkan variabel-variabel tersebut.

  • PMV (Predicted Mean Vote): Ini mengukur tingkat kenyamanan termal berdasarkan faktor lingkungan dan respons tubuh. Nilai PMV berkisar dari -3 (terlalu dingin) hingga +3 (terlalu panas).
  • PPD (Predicted Percentage Dissatisfied): Ini adalah perkiraan persentase orang yang tidak puas dengan kondisi termal tertentu, berdasarkan nilai PMV.

PMV (Predictive Mean Vote)

 

PMV adalah sebuah indeks yang mengukur kenyamanan termal dan digunakan untuk memprediksi tingkat kenyamanan rata-rata yang dirasakan oleh sekelompok besar individu dalam lingkungan tertentu. Indeks ini dikembangkan oleh Fanger pada tahun 1970, berdasarkan teori keseimbangan energi tubuh manusia. Teori tersebut menggambarkan hubungan antara berbagai faktor lingkungan, fisiologis, dan psikologis yang memengaruhi kenyamanan termal. PMV menjadi salah satu standar utama dalam desain arsitektur dan sistem HVAC, bertujuan menciptakan lingkungan yang memberikan kenyamanan termal optimal.

Komponen Utama dalam PMV

  1. Suhu udara (Ta): Mempengaruhi perpindahan panas melalui konveksi.
  2. Kelembapan relatif (RH): Berperan dalam penguapan keringat sebagai mekanisme pendinginan tubuh.
  3. Kecepatan angin (v): Mempercepat kehilangan panas melalui konveksi dan evaporasi.
  4. Suhu radiasi rata-rata (TMRT): Menggambarkan radiasi termal dari permukaan di sekitar individu.
  5. Tingkat metabolisme (M): Panas yang dihasilkan tubuh selama aktivitas fisik.
  6. Insulasi pakaian (Icl ): Menentukan resistensi termal antara tubuh dan lingkungan.

PMV dalam Konteks Arsitektur

1.   Perancangan Sistem HVAC

PMV digunakan sebagai parameter utama dalam desain sistem pemanas, ventilasi, dan pendingin udara (HVAC). Dengan mempertahankan PMV mendekati 0, sistem HVAC dapat menciptakan lingkungan termal yang nyaman bagi penghuni.

2.   Evaluasi Kenyamanan Termal Ruang Dalam

PMV membantu mengevaluasi kenyamanan termal di ruang dalam, seperti kantor, rumah, atau fasilitas publik, dengan mempertimbangkan suhu udara, kelembapan, dan aliran udara.

3.   Desain Berbasis Kinerja

PMV mendukung pendekatan desain berbasis kinerja, di mana keputusan desain didasarkan pada prediksi kenyamanan termal yang diukur secara kuantitatif.

4.   Standar Internasional

PMV diadopsi dalam standar internasional seperti ISO 7730 dan ASHRAE 55, yang memberikan panduan untuk menciptakan lingkungan termal yang nyaman.

Keunggulan PMV

1.   Pendekatan Ilmiah dan Kuantitatif

PMV menawarkan metode kuantitatif yang memungkinkan evaluasi kenyamanan termal berdasarkan prinsip fisiologi manusia.

2.   Aplikasi yang Luas

Metode ini dapat diterapkan pada berbagai jenis bangunan, mulai dari perkantoran hingga rumah sakit.

3.   Terintegrasi dengan Standar Internasional

PMV merupakan bagian dari standar internasional, sehingga menjadikannya alat yang sangat penting dalam desain arsitektur modern.

Keterbatasan PMV

1.   Asumsi Homogenitas Populasi

PMV dianggap sebagai representasi respons termal rata-rata dari suatu populasi, namun tidak memperhitungkan variasi individu yang muncul akibat faktor seperti usia, jenis kelamin, atau adaptasi budaya.

2.   Keterbatasan di Lingkungan Tropis

Dalam konteks lingkungan tropis, PMV sering kali memberikan estimasi yang tidak akurat terhadap kenyamanan termal, baik dengan melebih-lebihkan maupun meremehkan, mengingat model ini dikembangkan berdasarkan data dari iklim sedang.      

3.   Ketergantungan pada Data Input

 

Akurasi PMV sangat bergantung pada sejauh mana data lingkungan dan fisiologis yang digunakan memiliki tingkat keakuratan yang tinggi.

Kategori PMV

kategori PMV

PPD (Predicted Percentage of Dissatisfied)

PPD adalah sebuah indeks yang dirancang untuk memperkirakan seberapa banyak individu dalam suatu populasi yang merasa tidak nyaman dalam lingkungan termal tertentu. PPD sering digunakan bersamaan dengan PMV (Predicted Mean Vote), dan keduanya merupakan komponen penting dalam standar kenyamanan termal internasional, seperti ISO 7730. Dalam dunia arsitektur, PPD menjadi alat vital untuk mengevaluasi dan merancang kondisi termal bangunan, memastikan bahwa kebutuhan kenyamanan pengguna terpenuhi.

 

PPD mencerminkan ketidakpuasan subjektif terhadap lingkungan termal. Meskipun kenyamanan termal merupakan pengalaman yang bersifat individual, PPD beranggapan bahwa terdapat pola umum dalam populasi yang dapat diprediksi berdasarkan kondisi lingkungan tertentu.

 

Skala PPD

PPD diungkapkan dalam bentuk persentase, dengan skala mulai dari 0% (dimana semua orang merasa nyaman) hingga 100% (dimana semua orang merasa tidak nyaman). Dalam konteks desain, target PPD biasanya ditetapkan dibawah 10%, yang menunjukkan bahwa hanya 10% pengguna yang diperkirakan akan merasakan ketidaknyamanan.

 

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi PPD

PPD dipengaruhi oleh enam parameter termal yang juga digunakan dalam perhitungan PMV:

1.       Suhu Udara

2.       Kelembapan Relatif

3.       Kecepatan Angin

4.       Suhu Radiasi Rata-rata (TMRT)

5.       Produksi Panas Metabolik

6.       Insulasi Pakaian

Perubahan kecil dalam salah satu parameter ini dapat memengaruhi tingkat ketidaknyamanan yang dirasakan oleh pengguna.

Kelebihan PPD

1.     Fokus pada Populasi

PPD memberikan gambaran menyeluruh tentang kenyamanan termal dalam suatu kelompok, sehingga relevan untuk desain ruang publik atau kantor.

2.     Mudah Dipahami

Hasil PPD dalam bentuk persentase memudahkan arsitek, insinyur, dan pemangku kepentingan untuk mengevaluasi kenyamanan termal.

3.     Digunakan Secara Global

PPD adalah standar yang diterima secara luas dan sering digunakan dalam desain termal bangunan di seluruh dunia.

 

Keterbatasan PPD

1.     Generalisasi Populasi

PPD berasumsi bahwa setiap individu dalam populasi memiliki respons termal yang serupa. Namun, kenyataannya, faktor-faktor seperti usia, jenis kelamin, dan kemampuan adaptasi termal masing-masing individu dapat memengaruhi tingkat kenyamanan mereka.

2.     Tidak Memperhitungkan Adaptasi Lokal

PPD juga tidak memperhitungkan bagaimana pengguna di suatu wilayah mungkin telah menyesuaikan diri dengan kondisi termal yang spesifik di lingkungan mereka.

3.     Kurva Ideal Teoretis

Dalam praktiknya, hubungan antara PMV dan PPD tidak selalu sepenuhnya sejalan dengan model teoretis yang ada.

 

Hubungan Antara PMV dan PPD

PPD didasarkan pada nilai PMV, yang mengukur persepsi rata-rata terhadap lingkungan termal pada skala -3 (terlalu dingin) hingga +3 (terlalu panas).

o   PMV = 0 adalah kondisi netral di mana sebagian besar orang merasa nyaman.

o   Ketika PMV mendekati -3 atau +3, nilai PPD meningkat karena lebih banyak orang merasa tidak nyaman.

 

Hubungan ini dapat digambarkan oleh kurva PPD terhadap PMV:

o   Pada PMV = 0, PPD sekitar 5% (minimum teoretis).

o   Nilai PPD meningkat tajam ketika PMV bergerak menjauh dari 0.

Kenyamanan termal adaptif

 

Kenyamanan termal adaptif adalah suatu kondisi di mana individu dapat menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan termal tanpa perlu bantuan mekanis atau tambahan energi, seperti pendinginan atau pemanasan buatan. Dalam dunia arsitektur, konsep ini mengakui bahwa manusia memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan iklim alami melalui mekanisme fisiologis dan perilaku mereka. Penyesuaian ini berdampak langsung pada desain bangunan serta efisiensi penggunaan energi.

Teori Kenyamanan Termal Adaptif

Teori kenyamanan termal adaptif berlandaskan pada pemahaman bahwa kenyamanan termal tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi fisik lingkungan—seperti suhu udara, kelembapan, dan kecepatan angin—tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor perilaku dan fisiologis individu. Dalam konteks ini, teori adaptasi menjelaskan bahwa manusia mampu menyesuaikan diri dengan variasi iklim di lingkungan yang berbeda, baik melalui perubahan perilaku, seperti mengenakan pakaian yang sesuai atau memilih waktu yang tepat untuk beraktivitas di luar ruangan, maupun melalui perubahan fisiologis, seperti pengaturan suhu tubuh dengan cara berkeringat atau menggigil.

Teori ini banyak dipengaruhi oleh karya-karya seperti Ashrae Standard 55 (American Society of Heating, Refrigerating, and Air-Conditioning Engineers). Standar ini mendefinisikan kenyamanan termal adaptif dalam konteks suhu udara, kelembapan, dan faktor-faktor lain yang bisa diterima oleh manusia dalam keadaan alami tanpa bergantung pada sistem pendinginan atau pemanas. Standar tersebut mengakui bahwa manusia merasa lebih nyaman dalam berbagai kondisi, asalkan mereka memiliki kesempatan untuk beradaptasi.

 

Faktor yang Mempengaruhi Kenyamanan Termal Adaptif

Beberapa faktor yang memengaruhi kenyamanan termal adaptif dalam konteks arsitektur antara lain:

1.     Iklim Lokal: Kondisi iklim di lokasi bangunan memiliki dampak signifikan terhadap kenyamanan termal. Di daerah dengan iklim hangat, individu sering kali dapat beradaptasi dengan suhu tinggi melalui berbagai perilaku, seperti meningkatkan ventilasi atau memilih pakaian yang lebih ringan. Sebaliknya, di daerah beriklim dingin, orang cenderung menyesuaikan diri dengan mengenakan pakaian tebal dan mengelola suhu di dalam bangunan dengan cara yang lebih sederhana.

 

2.     Perilaku Penghuni: Salah satu elemen kunci dari kenyamanan termal adaptif adalah kemampuan penghuni bangunan untuk menyesuaikan perilaku mereka. Hal ini mencakup pilihan dalam berpakaian, penggunaan ventilasi alami, serta pengaturan kegiatan di dalam bangunan. Semua faktor ini berkontribusi besar dalam mengurangi ketergantungan pada sistem HVAC (pemanas, ventilasi, dan pendingin udara) yang memerlukan penggunaan energi.

3.     Fisiologi Manusia: Tubuh manusia memiliki kemampuan luar biasa untuk beradaptasi terhadap perubahan suhu, sebuah proses yang dikenal sebagai termoregulasi, yang menjadi dasar kenyamanan termal adaptif. Untuk menjaga suhu inti, tubuh dapat melakukan berbagai cara, seperti berkeringat untuk mendinginkan diri atau menggigil untuk menghangatkan. Dengan kemampuan ini, manusia mampu bertahan dalam rentang suhu yang cukup luas, asalkan ada kesempatan untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar.

 

4.     Desain Bangunan dan Bahan Bangunan: Dalam menciptakan kenyamanan termal adaptif, desain bangunan harus memperhatikan penggunaan bahan yang tepat. Ini meliputi pemilihan material dengan kapasitas penyimpanan panas yang baik, ventilasi alami yang optimal, serta orientasi bangunan yang mempertimbangkan pergerakan matahari sepanjang hari. Bahan bangunan seperti beton atau batu, yang mampu menyerap dan melepaskan panas dengan efisien, dapat membantu menjaga suasana ruangan tetap nyaman dengan meminimalkan fluktuasi suhu.

 

5.     Pengaruh Sosial dan Budaya: Kenyamanan termal juga dipengaruhi oleh norma sosial dan budaya yang ada dalam masyarakat. Dalam beberapa budaya, individu mungkin merasa nyaman dengan suhu yang lebih tinggi atau lebih rendah, tergantung pada kebiasaan dan cara hidup yang telah teradaptasi secara sosial.

 

Penerapan Kenyamanan Termal Adaptif dalam Arsitektur

Penerapan prinsip kenyamanan termal adaptif dalam desain arsitektur memiliki peranan yang sangat penting dalam mengurangi konsumsi energi di dalam bangunan, sekaligus meningkatkan kualitas hidup penghuninya. Berbagai pendekatan desain dapat diterapkan untuk mendukung kenyamanan termal adaptif, antara lain:

1.     Ventilasi Alami: Merancang bangunan agar bisa memanfaatkan ventilasi alami secara optimal—baik melalui jendela yang dapat dibuka maupun celah ventilasi—dapat membantu menjaga suhu yang nyaman di dalamnya tanpa bergantung pada sistem pendinginan atau pemanasan mekanis.

2.     Pengaturan Orientasi Bangunan: Mempertimbangkan orientasi bangunan berdasarkan pergerakan matahari sepanjang hari dapat memaksimalkan pemanasan alami di musim dingin serta mengurangi risiko pemanasan berlebih di musim panas.

3.     Penggunaan Bahan yang Tepat: Memilih bahan bangunan dengan kapasitas penyimpanan termal yang baik, seperti beton atau batu, dapat membantu menstabilkan fluktuasi suhu di dalam ruang, menciptakan kondisi termal yang lebih nyaman dan konsisten.

4.     Desain yang Fleksibel: Memberikan kesempatan kepada penghuninya untuk mengontrol suhu di dalam ruang, baik melalui pengaturan termostat yang mudah diakses atau desain ruangan yang memungkinkan penyesuaian tingkat kenyamanan sesuai kebutuhan, akan meningkatkan adaptabilitas dan kenyamanan termal.

 

Keuntungan Kenyamanan Termal Adaptif

Penerapan kenyamanan termal adaptif dalam desain bangunan menawarkan berbagai keuntungan yang signifikan, antara lain:

1.     Pengurangan Konsumsi Energi: Dengan mengurangi ketergantungan pada sistem pemanas dan pendingin mekanis, penggunaan energi dapat diminimalkan secara substansial. Hal ini berkontribusi pada pengurangan dampak lingkungan yang dihasilkan oleh bangunan.

2.     Peningkatan Kualitas Hidup: Memberikan kesempatan bagi penghuni untuk menyesuaikan suhu dan tingkat kenyamanan sesuai dengan preferensi masing-masing dapat meningkatkan kualitas hidup. Ini tidak hanya mengurangi stres akibat suhu yang tidak nyaman, tetapi juga berpotensi meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan secara keseluruhan.

 

Ketahanan terhadap Perubahan Iklim: Konsep kenyamanan termal adaptif membuat bangunan lebih fleksibel dan mampu beradaptasi dengan kondisi iklim yang semakin ekstrem, baik itu dalam menghadapi suhu yang sangat tinggi maupun yang sangat rendah.

Standar Kenyamanan Termal – ASHRAE 55

 

Standar kenyamanan termal adalah pedoman atau peraturan yang disusun oleh organisasi atau badan standar internasional untuk menetapkan parameter-parameter yang ideal dalam menciptakan lingkungan yang nyaman secara termal. Salah satu standar yang paling dikenal adalah ASHRAE Standard 55 yang diterbitkan oleh American Society of Heating, Refrigerating and Air-Conditioning Engineers (ASHRAE). Standar ini memberikan pedoman tentang kondisi termal yang diterima secara umum untuk berbagai jenis aktivitas dan tingkat pakaian yang dikenakan oleh penghuni dalam suatu ruang.

Menurut ASHRAE Standard 55, kenyamanan termal ditentukan oleh kombinasi dari beberapa faktor seperti suhu udara, kelembapan, kecepatan udara, suhu radiasi, serta aktivitas fisik dan pakaian yang dikenakan. Standar ini bertujuan untuk memastikan bahwa lebih dari 80% penghuni ruang akan merasa nyaman dalam kondisi lingkungan tersebut.

Secara umum, baik model maupun standar kenyamanan termal membantu merancang lingkungan yang tidak hanya efisien secara energi tetapi juga menjaga kenyamanan penghuni dengan memperhatikan kondisi termal yang sesuai dengan kebutuhan fisiologis mereka.

D. Selubung Bangunan dan Kinerja Termal

Insulasi dan penghalang udara

 

Insulasi dan penghalang udara merupakan dua komponen krusial dalam desain selubung bangunan yang memiliki dampak langsung pada kinerja termalnya. Kinerja termal selubung bangunan merujuk pada kemampuan bangunan dalam mengelola aliran panas, baik dari panas yang masuk (solar gain) maupun yang keluar (thermal loss). Hal ini sangat berpengaruh pada kenyamanan penghuninya serta pengeluaran energi bangunan. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam tentang insulasi dan penghalang udara sangatlah penting untuk menciptakan bangunan yang efisien dalam konsumsi energi sekaligus nyaman secara termal.

Insulasi Dalam Konteks Selubung Bangunan

Insulasi termal merupakan bahan atau sistem yang dirancang untuk mengurangi aliran panas antara bagian dalam dan luar suatu bangunan. Tujuan utama dari insulasi ini adalah untuk meminimalkan perbedaan suhu antara ruang interior dan lingkungan eksternal, sehingga menciptakan suasana yang nyaman bagi penghuni. Proses ini dilakukan dengan menahan panas atau dingin agar tidak mengalir melalui selubung bangunan, yang pada gilirannya akan mengurangi ketergantungan pada sistem pemanas dan pendingin mekanis.

 

Jenis-Jenis Insulasi

Insulasi bangunan terdiri dari berbagai jenis material dan teknik yang dipilih sesuai dengan kebutuhan spesifik serta iklim setempat. Berbagai bentuk insulasi yang biasa digunakan dalam desain bangunan antara lain:

 

·        Insulasi Termal pada Dinding dan Atap

Dinding dan atap merupakan dua elemen utama yang berperan dalam mencegah aliran panas. Material insulasi seperti busa polistiren (EPS), poliuretan, wool mineral, dan fiberglass sering dipilih untuk digunakan dalam konstruksi dinding dan atap. Penggunaan material ini bertujuan untuk mengurangi kehilangan panas saat musim dingin dan menjaga suhu tetap sejuk di musim panas.

·        Insulasi pada Lantai

Insulasi lantai juga sangat penting untuk mencegah kehilangan panas ke tanah, terutama pada bangunan yang memiliki lantai bawah tanah atau menggunakan lantai beton.

·        Insulasi Jendela dan Pintu

Jendela dan pintu merupakan titik kritis dalam selubung bangunan yang mudah terpengaruh oleh aliran panas. Penggunaan kaca ganda (Double-Glazed Glass) atau kaca low-E (Low Emissivity Glass) dapat meningkatkan efisiensi insulasi termal bangunan. Selain itu, memastikan pintu dan jendela tertutup rapat juga sangat membantu dalam mencegah kebocoran udara yang dapat mengganggu kinerja termal bangunan.

 

Mekanisme Kerja Insulasi

Insulasi beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip termodinamika, terutama hukum konduksi termal, yang mengatur bagaimana panas berpindah melalui materi. Material insulasi yang memiliki konduktivitas termal yang lebih rendah (nilai k) akan lebih efektif dalam mencegah perpindahan panas. Dengan mengurangi konduksi panas, insulasi berperan penting dalam menjaga suhu yang stabil dalam suatu ruang, baik di musim panas maupun musim dingin.

 

Teori yang mendasari ini dapat dijelaskan melalui model konduksi termal dalam bahan insulasi, yang merujuk pada hukum Fourier. Hukum ini menyatakan bahwa laju aliran panas (Q) melalui suatu material sebanding dengan perbedaan suhu (ΔT) dan luas penampang material (A), serta berbanding terbalik dengan ketebalan bahan insulasi (d):

 

 

Dimana:

·        k adalah koefisien konduktivitas termal material

·        A adalah luas penampang material

·        ΔT adalah perbedaan suhu antara kedua sisi material

·        d adalah ketebalan material

 

Penghalang Udara (Air Barriers) dalam Konteks Selubung Bangunan

Penghalang udara merupakan elemen penting yang berfungsi untuk mencegah pergerakan udara yang tidak terkendali, yang sering kali mengakibatkan kebocoran udara, atau yang biasa disebut sebagai “drafts”. Kebocoran ini dapat terjadi melalui selubung bangunan dan dapat menimbulkan masalah termal yang signifikan, seperti kehilangan panas di musim dingin dan peningkatan suhu di musim panas. Dengan adanya penghalang udara, efisiensi energi dalam bangunan dapat meningkat, karena aliran udara di dalam dan luar bangunan dapat dikendalikan dengan lebih baik.

 

Jenis Penghalang Udara

Berikut adalah macam jenis penghalang udara yang sering digunakan dalam konstruksi bangunan:

1.     Membran Penghalang Udara (Air Barrier Membranes)

Membran penghalang udara biasanya berbentuk lapisan tipis yang diterapkan langsung pada permukaan dinding atau atap. Material ini bertujuan untuk mencegah aliran udara melewati celah atau sambungan pada selubung bangunan. Beberapa contoh dari membran ini yaitu:

·     Membran plastik

·     Membran bitumen

·     Membran kertas

 

2.     Lapisan Semprot (Spray-applied Barriers)

Material ini diterapkan dengan cara disemprotkan ke permukaan bangunan, menciptakan lapisan penghalang udara yang padat dan menyatu dengan permukaan yang lebih baik dibandingkan dengan membran yang dipasang secara manual. Beberapa contoh dari lapisan ini yaitu:

·     Spray Foam

·     Spray-applied Elastomeric Coatings

 

3.     Penghalang Udara Berbahan Polimer atau Film (Polymer-based or Film Barriers)

·     Film Polietilen: Film polietilen yang fleksibel sering digunakan sebagai penghalang udara untuk mencegah kebocoran udara. Biasanya digunakan di bagian bawah dinding atau lantai bangunan serta pada bagian atap untuk menutup celah-celah.

 

·     Membran Berlapis (Multi-layer membranes): Membran dengan beberapa lapisan bahan, seperti film polimer dengan lapisan tahan air atau tahan api, sering digunakan untuk meningkatkan efektivitas penghalang udara serta memberikan tambahan fungsi perlindungan seperti ketahanan terhadap api atau kelembapan.

 

4.     Penghalang Udara Berbentuk Panel (Panel-based Barriers)

Panel penghalang udara biasanya terbuat dari bahan keras yang dipasang di seluruh permukaan untuk menghalangi aliran udara. Biasanya digunakan untuk area yang membutuhkan penghalang yang lebih tahan lama atau lebih kuat. Beberapa contoh dari panel ini yaitu:

·     Panel Berinsulasi (Insulated Panels)

·     Panel Fiber Semen

 

5.     Jendela dan Pintu dengan Kedap Udara (Air-tight Windows and Doors)

Pintu dan jendela yang dirancang khusus dengan kedap udara juga berfungsi sebagai penghalang udara yang penting dalam menjaga kualitas termal bangunan. Pintu dan jendela ini sering dilengkapi dengan sistem segel khusus yang memastikan bahwa udara tidak dapat masuk atau keluar melalui celah-celah, beberapa contohnya:

·     Pintu dan Jendela dengan Segel Karet

·     Pintu dan Jendela dengan Bingkai Terinsulasi

 

6.     Sealant dan Caulk (Sealants and Caulking)

Sealant atau caulk adalah bahan kedap udara yang digunakan untuk menutup celah, sambungan, dan retakan di antara elemen bangunan seperti antara jendela dan dinding atau di sekitar pipa dan saluran udara. Ini merupakan salah satu cara yang lebih ekonomis untuk meningkatkan kinerja penghalang udara, beberapa contohnya:

·     Sealant Berbahan Silicon

·     Caulk Berbahan Akrilik

 

7.     Sistem Penghalang Udara Terintegrasi (Integrated Air Barrier Systems)

Beberapa sistem penghalang udara adalah solusi terintegrasi yang menggabungkan berbagai bahan dan teknik untuk menciptakan penghalang udara yang lebih efektif. Sistem ini sering diterapkan pada bangunan dengan desain kompleks yang memerlukan pendekatan lebih canggih.

 

 

Sistem jendela dan perangkat peneduh

Sistem jendela dan perangkat peneduh merupakan komponen krusial dalam desain arsitektur yang berpengaruh pada kinerja termal suatu bangunan. Keduanya memiliki peran penting dalam mengatur perpindahan panas antara ruang interior dan lingkungan luar, serta berkontribusi pada kenyamanan termal para penghuni dan efisiensi energi bangunan. Dalam konteks ini, sistem jendela dan perangkat peneduh berinteraksi dengan selubung bangunan—yang berfungsi sebagai pemisah antara ruang dalam dan luar—untuk memengaruhi berbagai faktor, termasuk radiasi matahari, ventilasi, dan transfer panas.

 

Bingkai Jendela

Bingkai jendela berperan penting dalam kinerja termal sebuah bangunan. Bingkai yang kurang baik dapat menyebabkan kebocoran udara dan kehilangan panas, terutama di sekitar sambungan antara jendela dan dinding. Beberapa contoh bingkai jendela adalah sebagai berikut:

 

·     Bingkai Aluminium

Memiliki konduktivitas termal yang tinggi, sehingga cenderung menyebabkan kehilangan panas yang signifikan. Oleh karena itu, bingkai aluminium sering dilengkapi dengan pemisah termal untuk mengurangi transfer panas dan meningkatkan efisiensi.

·     Bingkai PVC (Polyvinyl Chloride)

Menawarkan konduktivitas termal yang rendah, sehingga lebih efektif dalam menjaga insulasi panas dan mengurangi kebocoran udara dibandingkan dengan bingkai aluminium.

·     Bingkai Kayu

Memberikan insulasi alami yang baik dan dapat memberikan performa termal yang lebih baik daripada aluminium, meskipun memerlukan perawatan yang lebih intensif.

 

Sistem Jendela

Sistem jendela memiliki peran yang krusial dalam mengatur perpindahan panas antara interior bangunan dan lingkungan luar. Selain memengaruhi tingkat pencahayaan alami dan kenyamanan visual, jendela juga berfungsi sebagai pengendalikan panas melalui proses konduksi, konveksi, dan radiasi. Dengan demikian, pemilihan jenis dan sistem jendela yang tepat sangat berdampak pada efisiensi energi bangunan serta kenyamanan termal bagi para penghuninya. Berikut ini adalah berbagai jenis sistem jendela yang sering digunakan dalam desain bangunan yang mengutamakan kinerja termal:

 

1.     Jendela Tunggal (Single-glazed Windows)

Jendela tunggal merupakan salah satu jenis jendela yang menggunakan satu lapisan kaca. Meskipun harganya tergolong ekonomis, jendela ini memiliki kinerja termal yang kurang baik. Tingginya konduktivitas termal pada jendela tunggal menyebabkan panas lebih mudah keluar saat musim dingin dan masuk saat musim panas.

2.     Jendela Ganda (Double-glazed Windows)

Jendela ganda terdiri dari dua lapisan kaca yang dipisahkan oleh ruang udara atau gas, seperti argon, di antara keduanya. Ruang udara atau gas ini berfungsi sebagai isolator termal, membantu mengurangi transfer panas antara bagian dalam dan luar bangunan.

3.     Jendela Tiga Lapisan (Triple-glazed Windows)

Jendela tiga lapisan merupakan sistem jendela yang terdiri dari tiga lapisan kaca dengan dua ruang udara yang terletak di antara lapisan-lapisan kaca tersebut. Jenis jendela ini memberikan insulasi termal yang optimal, sehingga sangat cocok digunakan di daerah dengan iklim ekstrem, baik pada musim dingin yang sangat dingin maupun musim panas yang sangat panas.

4.     Jendela dengan Kaca Low-E (Low Emissivity Glass)

Kaca Low-E adalah jenis kaca yang dilapisi dengan lapisan tipis logam, sehingga dapat memantulkan radiasi inframerah (panas) sambil tetap membiarkan cahaya tampak masuk. Kaca ini efektif memblokir sebagian besar radiasi panas matahari di musim panas, sekaligus menjaga agar suhu hangat tetap terjaga di dalam ruangan saat musim dingin.

5.     Jendela Berwarna (Tinted Windows)

Jendela berwarna, yang juga dikenal sebagai kaca tinted, adalah kaca yang telah diproses dengan bahan kimia untuk menghasilkan warna tertentu, seperti abu-abu, coklat, atau biru. Kaca ini tidak hanya mempercantik tampilan bangunan, tetapi juga efektif dalam mengurangi penetrasi panas dari sinar matahari dan memberikan perlindungan terhadap silau.

6.     Jendela Berkekuatan Termal (Thermal Break Windows)

Jendela yang dilengkapi dengan thermal break memiliki lapisan insulasi termal yang terletak di antara bahan bingkai logam, biasanya terbuat dari plastik atau komposit. Fitur thermal break ini berfungsi untuk mengurangi aliran panas yang terjadi melalui bingkai jendela yang terbuat dari material konduktif, seperti aluminium.

7.     Jendela Pintar (Smart Windows)

Jendela pintar memanfaatkan teknologi canggih yang memungkinkan kaca beradaptasi dengan perubahan kondisi lingkungan, seperti intensitas cahaya atau suhu. Kaca ini dapat berfungsi sebagai kaca foto-kromik, yang mengubah warnanya berdasarkan tingkat cahaya, atau sebagai kaca elektro-kromik, yang mengubah tingkat transparansinya melalui pengendalian listrik.

8.     Jendela dengan Pelapisan (Coated Windows)

Selain kaca Low-E, terdapat pula jenis kaca lain yang dilapisi dengan berbagai material untuk meningkatkan kinerja termal. Contohnya adalah pelapisan reflektif dan pelapisan penghalang sinar UV. Kaca-kaca ini dirancang khusus untuk memantulkan radiasi panas inframerah kembali ke luar atau untuk melindungi interior dari kerusakan yang disebabkan oleh sinar UV.

9.     Jendela yang Terintegrasi dengan Sistem Peneduh (Shaded Windows)

Jendela dengan sistem peneduh terintegrasi adalah jendela yang dirancang dengan pelindung matahari, seperti perangkat peneduh luar (shading devices), yang terpasang langsung pada fasad atau jendela itu sendiri. Pelindung ini dapat berbentuk overhang, louvers, trellises, atau gorden yang bisa disesuaikan.

 

Perangkat Peneduh (Shading Devices)

Perangkat peneduh memiliki peran penting dalam mengatur seberapa banyak sinar matahari yang masuk ke dalam bangunan. Ini berkontribusi secara langsung terhadap pengendalian solar gain, yaitu penyerapan panas dari matahari, serta kinerja termal keseluruhan bangunan. Dengan desain yang baik, perangkat peneduh dapat mengurangi kebutuhan akan pendinginan mekanis, menjaga kenyamanan termal bagi penghuni, serta meningkatkan efisiensi energi bangunan. Berikut adalah macam dan jenis shading devices yang sering digunakan dalam desain arsitektur untuk pengendalian kinerja termal:

o   Overhangs (Penutup Atas)

o   Louvers (Jendela Berjeruji atau Grill)

o   Pergola atau Trellises

o   Shade Screens (Layar Penutup)

o   Jendela dengan Pelindung Matahari Eksternal (External Sunshades)

o   Canopies (Kanopi)

o   Fasad Bergerak (Moving Facades)

o   Vegetasi (Green Shading)

o   Pergola dengan Atap Terbuka

Common Exterior Shadings

Orientasi bangunan dan paparan sinar matahari

 

Orientasi bangunan dan paparan sinar matahari adalah elemen penting dalam desain arsitektur, yang berperan krusial dalam menjamin kenyamanan termal bagi penghuni, efisiensi energi, dan kinerja termal selubung bangunan. Dengan memperhatikan orientasi dan pola pergerakan matahari, arsitek dapat mengoptimalkan interaksi antara bangunan dan lingkungan sekitarnya. Hal ini pada akhirnya dapat mengurangi ketergantungan akan sistem pendinginan atau pemanasan buatan.

 

Orientasi bangunan merujuk pada posisi dan tata letaknya dalam hubungannya dengan arah mata angin, yang berpengaruh pada jumlah dan intensitas sinar matahari yang diterima oleh setiap sisi fasad. Untuk mencapai orientasi yang optimal, beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan yaitu:

·        Lintasan Matahari (Solar Path): Pergerakan matahari yang bervariasi sepanjang hari dan sepanjang tahun.

·        Variasi Musim: Sudut ketinggian matahari yang meningkat dalam musim panas dan menurun saat musim dingin.

·        Kondisi Iklim Setempat: Misalnya, daerah tropis membutuhkan perlindungan dari panas, sementara daerah dingin perlu mengoptimalkan penyerapan panas.

 

Pengaruh Orientasi Terhadap Kinerja Termal

1.   Eksposur Matahari:

     Orientasi yang optimal dapat memanfaatkan sinar matahari untuk pencahayaan alami sambil menghindari kelebihan panas di musim panas.

     Di belahan bumi utara, sering kali disarankan agar fasad utama menghadap ke selatan. Hal ini bertujuan untuk memaksimalkan pencahayaan matahari selama musim dingin dan mengurangi paparan sinar matahari langsung di musim panas.

2.   Distribusi Panas:

     Orientasi fasad dan jendela memiliki peranan penting dalam distribusi panas di dalam ruangan.

     Permukaan bangunan yang menghadap timur bakal menikmati sinar matahari pagi, yang biasanya memberikan kehangatan yang menyenangkan di awal hari.

     Sebaliknya, permukaan yang menghadap barat akan mengalami panas sore yang lebih kuat, berpotensi meningkatkan suhu di dalam ruangan saat penghuni sedang lebih aktif.

3.   Efisiensi Energi:

     Orientasi yang tepat dapat mengurangi beban pada sistem HVAC (Pemanas, Ventilasi, dan Pendinginan Udara), sehingga berkontribusi pada penurunan konsumsi energi di dalam bangunan.

 

 

Paparan Sinar Matahari dan Selubung Bangunan

Selubung bangunan berfungsi sebagai elemen eksternal yang memisahkan ruang di dalam bangunan dari lingkungan di luar. Komponen utama yang memengaruhi paparan sinar matahari meliputi dinding, jendela, atap, serta elemen peneduh.

 

1.   Absorpsi dan Refleksi Radiasi Matahari:

     Bahan pelapis yang digunakan memiliki peran penting dalam menentukan sejauh mana radiasi matahari diserap, dipantulkan, atau diteruskan ke dalam bangunan.

     Permukaan yang memiliki albedo tinggi, seperti yang berwarna terang, cenderung memantulkan lebih banyak radiasi, sehingga dapat mengurangi penumpukan panas yang berlebihan.

     Di sisi lain, permukaan dengan kapasitas termal tinggi mampu menyimpan panas dan melepaskannya secara perlahan, yang membantu menjaga kestabilan suhu di dalam ruangan.

2.   Insulasi Termal:

     Penggunaan insulasi yang baik pada selubung bangunan dapat meminimalkan perpindahan panas antara interior dan eksterior, sehingga mengurangi kebutuhan energi untuk pemanasan atau pendinginan.

3.   Strategi Pasif dan Aktif:

     Strategi pasif, seperti penggunaan overhangs atau louvers, berfungsi untuk mengendalikan paparan sinar matahari dengan efektif.

     Strategi aktif, seperti kaca elektrochromic dan sistem shading dinamis, memberikan kebebasan kepada penghuni untuk mengatur tingkat pencahayaan sesuai kebutuhan mereka.

 

Teori Keseimbangan Panas (Heat Balance Theory)

Teori keseimbangan panas menjelaskan bahwa suhu di dalam ruangan ditentukan oleh interaksi antara panas yang masuk—melalui radiasi matahari, peralatan, dan aktivitas manusia—dan panas yang keluar, yang terjadi melalui ventilasi, konduksi, dan radiasi ke lingkungan luar. Selain itu, orientasi bangunan serta paparan sinar matahari memainkan peran penting dalam menentukan jumlah radiasi yang diterima, yang merupakan salah satu komponen kunci dalam keseimbangan panas ini.

 

Geometri Matahari (Solar Geometry)

Pemahaman mengenai geometri matahari memberikan panduan bagi arsitek untuk merancang bangunan yang dapat memaksimalkan atau meminimalkan paparan sinar matahari. Dengan menggunakan sudut azimut dan sudut elevasi matahari, para arsitek dapat menghitung durasi dan intensitas radiasi yang mencapai fasad bangunan tertentu.

 

Praktik Dalam Desain Bangunan

1.     Daerah Tropis:

·      Fokus pada menghindari paparan sinar matahari langsung.

·      Gunakan overhangs besar, dinding berinsulasi baik, dan jendela kecil di sisi barat.

·      Maksimalkan ventilasi silang untuk pendinginan alami.

2.     Daerah Subtropis atau Dingin:

·      Maksimalkan sinar matahari pada musim dingin.

·      Gunakan jendela besar di sisi selatan (belahan bumi utara) atau utara (belahan bumi selatan).

·      Pastikan insulasi termal tinggi untuk mempertahankan panas.

3.     Penggunaan Simulasi:

·      Perangkat lunak seperti Ecotect, EnergyPlus, atau Grasshopper Ladybug digunakan untuk mengevaluasi dampak orientasi terhadap kinerja termal berdasarkan lintasan matahari dan kondisi iklim lokal.

Massa Termal

 

Thermal mass merujuk pada kemampuan suatu material untuk menyerap energi panas ketika suhu lingkungan meningkat, dan melepaskannya kembali saat suhu menurun. Karakteristik ini memungkinkan thermal mass untuk “menyamarkan” fluktuasi suhu, sehingga dapat menjaga kestabilan termal di dalam bangunan.

 

Prinsip Kerja Thermal Mass

·      Penyerapan Panas: Ketika suhu lingkungan meningkat, material dengan massa termal mampu menyerap kelebihan panas tanpa mengalami perubahan suhu yang berarti.

·      Penyimpanan Panas: Energi panas yang diserap akan disimpan di dalam material tersebut, biasanya dalam bentuk energi laten atau energi termal internal.

·      Pelepasan Panas: Saat suhu lingkungan menurun, material ini akan melepaskan energi panas ke udara, berfungsi untuk menjaga suhu dalam ruangan tetap hangat.

 

Sifat-Sifat Utama Bahan Massa Termal

Bahan yang baik sebagai massa termal memiliki sifat-sifat berikut:

·      Kapasitas Panas Spesifik Tinggi: Ini merujuk pada kemampuan suatu material untuk menyimpan energi panas per unit massa per perubahan suhu. Contohnya, air memiliki kapasitas panas spesifik yang tinggi, yang menjadikannya sangat efektif dalam menyimpan panas.

·      Densitas Tinggi: Material dengan densitas tinggi dapat menyimpan lebih banyak panas karena memiliki lebih banyak massa dalam setiap unit volume. Contoh yang baik dari ini adalah beton dan batu alam.

·      Konduktivitas Termal Sedang: Material dengan konduktivitas termal sedang memungkinkan panas untuk meresap secara perlahan dan terdistribusi secara merata, sehingga tidak segera dilepaskan ke lingkungan.

·      Ketahanan Termal: Sangat penting bagi material untuk memiliki ketahanan termal yang memadai agar panas tidak hilang atau berpindah terlalu cepat.

 

Contoh Material Massa Termal

1.   Beton

       Densitas tinggi, kapasitas panas spesifik besar.

       Digunakan di lantai dan dinding untuk menyimpan panas matahari pada siang hari dan melepaskannya di malam hari.

2.   Batu Bata

       Sifat termal baik, ekonomis, dan mudah diperoleh.

       Cocok untuk dinding penyerap panas di bangunan dengan strategi desain pasif.

3.   Batu Alam

       Kapasitas panas besar, estetis, dan tahan lama.

       Digunakan untuk elemen struktural atau dekoratif.

4.   Air

       Memiliki kapasitas panas spesifik tertinggi di antara material alami.

       Digunakan dalam sistem penyimpanan energi termal seperti dinding air atau water tank thermal storage.

5.   PCM (Phase Change Materials)

       Material modern yang menyimpan panas melalui perubahan fase (misalnya dari padat ke cair).

       Digunakan dalam desain inovatif untuk meningkatkan efisiensi termal.

 

Pengaruh Thermal Mass Terhadap Kinerja Bangunan

·     Regulasi Suhu Internal

       Thermal mass mengurangi fluktuasi suhu harian di dalam bangunan.

       Membantu menjaga suhu yang stabil, terutama di iklim dengan perbedaan suhu siang-malam yang besar.

·     Efisiensi Energi

       Mengurangi kebutuhan pemanasan pada malam hari dan pendinginan pada siang hari.

       Mendukung strategi desain pasif seperti penghangatan matahari (solar heating) dan ventilasi malam (night cooling).

·     Kenyamanan Termal

       Thermal mass membantu mempertahankan suhu nyaman tanpa perlu sistem HVAC yang intensif.

 

Teori Pendukung

1.   Thermal Lag

       Fenomena di mana material membutuhkan waktu untuk menyerap dan melepaskan panas.

       Material dengan massa termal tinggi memiliki thermal lag yang besar, yang berguna untuk mengatur suhu dalam ruangan.

 

2.   Time Constant

       Waktu yang diperlukan oleh material untuk mencapai keseimbangan termal dengan lingkungannya.

       Material dengan massa termal tinggi memiliki konstanta waktu yang lebih besar.

 

3.   Konsep Heat Balance

      Massa termal membantu mencapai keseimbangan panas dengan menyerap energi saat ada surplus panas dan melepaskannya saat terjadi defisit panas.

Strategi ventilasi dan pendinginan malam hari

 

Ventilasi dan pendinginan malam hari (night cooling) merupakan salah satu strategi desain pasif yang memanfaatkan suhu udara luar yang lebih rendah di malam hari untuk mendinginkan bangunan. Pendekatan ini sering diterapkan pada bangunan yang terbuat dari material dengan massa termal tinggi, yang dapat menyimpan panas selama siang hari dan melepaskannya pada malam hari ketika suhu lingkungan mulai menurun. Dengan cara ini, sistem ini tidak hanya membantu menjaga kenyamanan termal bagi penghuni, tetapi juga mengurangi ketergantungan pada pendinginan mekanis, sehingga lebih efisien dalam penggunaan energi. Strategi ini memanfaatkan prinsip aliran udara, baik alami maupun buatan, untuk mengurangi penumpukan panas di dalam bangunan selama siang hari. Pendekatan ini sangat efektif di daerah yang mengalami perbedaan suhu yang signifikan antara siang dan malam, seperti wilayah beriklim panas dan kering.

 

Prinsip Kerja dan Kaitannya dengan Penyimpanan Panas

1.       Mekanisme Penyerapan dan Pelepasan Panas oleh Massa Termal:

         Pada siang hari, material dengan massa termal, seperti beton, batu bata, atau batu alam, menyerap panas dari sinar matahari serta aktivitas di dalam ruangan, menyimpannya sebagai energi laten.

         Pada malam hari, ketika suhu luar menjadi lebih rendah, udara dingin yang mengalir melalui bangunan memungkinkan massa termal untuk melepaskan panas yang telah disimpan. Proses ini mendinginkan material tersebut dan juga lingkungan di dalam ruangan.

2.       Sirkulasi Udara:

         Udara dingin di malam hari digunakan untuk menggantikan suhu panas di dalam ruangan, menghasilkan efek pendinginan yang nyaman.

         Aliran udara juga mempercepat proses transfer panas dari material massa termal ke lingkungan, sehingga meningkatkan efisiensi pendinginan.

3.       Efek Pendinginan Pasif:

         Bangunan yang didinginkan selama malam hari mampu menjaga suhu ruangan tetap nyaman di siang hari, meskipun suhu di luar mengalami peningkatan.

 

Jenis Ventilasi untuk Pendinginan Malam Hari

·        Ventilasi Alami:

       Memanfaatkan aliran udara yang dihasilkan oleh perbedaan suhu (efek termal) atau tekanan udara (efek angin).

       Contoh: Bukaan jendela yang ditempatkan strategis untuk menciptakan ventilasi silang (cross ventilation).

·        Ventilasi Mekanis:

       Menggunakan kipas atau sistem ventilasi buatan untuk mengontrol aliran udara.

       Contoh: Sistem HVAC yang diatur untuk memanfaatkan suhu udara luar pada malam hari.

·        Ventilasi Hybrid:

       Kombinasi antara ventilasi alami dan mekanis untuk mengoptimalkan aliran udara.

       Cocok untuk bangunan di wilayah yang memiliki perbedaan suhu siang-malam yang tidak terlalu besar.

 

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Ventilasi Malam Hari

1.   Material Massa Termal

Material dengan kapasitas panas spesifik dan densitas tinggi, seperti beton atau batu bata, ideal untuk menyerap dan melepaskan panas secara perlahan.

 

2.   Perbedaan Suhu Siang dan Malam

Strategi ini lebih efektif di wilayah yang memiliki suhu malam jauh lebih rendah dibandingkan siang.

 

3.   Desain Bangunan

Penempatan bukaan, orientasi bangunan, dan integrasi ventilasi silang sangat memengaruhi aliran udara.

 

4.   Kecepatan Aliran Udara

Aliran udara yang lambat tidak cukup untuk menghilangkan panas dari material termal. Sebaliknya, aliran udara yang terlalu cepat bisa mengurangi kenyamanan termal.

 

Teori Pendukung

1.   Prinsip Heat Transfer

Proses pelepasan panas dari material massa termal mengikuti prinsip perpindahan panas, di mana panas bergerak dari area dengan suhu tinggi ke suhu rendah (konduksi, konveksi, dan radiasi).

 

2.   Thermal Mass and Night Cooling Theory

Kombinasi massa termal dan pendinginan malam hari menciptakan efek thermal lag, di mana pelepasan panas terjadi setelah waktu tertentu, membantu menjaga suhu dalam ruangan tetap nyaman di siang hari.

 

3.   Stack Effect

Perbedaan tekanan udara antara bagian bawah dan atas bangunan menciptakan aliran udara vertikal yang efektif untuk mengeluarkan udara panas dari dalam ruangan.

 

4.   Diurnal Temperature Variation

Strategi ini memanfaatkan variasi suhu harian, terutama di daerah yang memiliki perbedaan signifikan antara suhu siang dan malam.

 

Keterbatasan Strategi Ventilasi

       Ketergantungan pada Perbedaan Suhu

Strategi ini kurang efektif di wilayah dengan suhu malam yang tetap hangat.

 

       Polusi Udara

Udara luar yang tercemar dapat memengaruhi kualitas udara dalam ruangan.

 

       Keamanan

Membuka jendela pada malam hari dapat meningkatkan risiko keamanan, terutama di lingkungan perkotaan.

Phase-Change Materials (PCM) dan penyimpanan energi termal

 

 

PCM adalah bahan yang memiliki kemampuan untuk menyimpan dan melepaskan energi termal saat mengalami perubahan fase, seperti transformasi dari padat ke cair atau dari cair ke gas, dalam rentang suhu tertentu. Dalam dunia arsitektur, PCM berfungsi sebagai elemen penyimpanan energi termal pasif yang mampu meningkatkan efisiensi energi serta kenyamanan termal suatu bangunan. Dengan kemampuannya menyimpan sejumlah besar energi selama proses perubahan fase, PCM berperan penting dalam mengatur suhu ruangan, mengurangi beban pada sistem pendingin atau pemanas, serta menyokong upaya keberlanjutan bangunan.

 

Mekanisme Kerja

·      Penyimpanan Energi

Ketika material mengalami pemanasan dan berubah fase dari padat ke cair, ia menyerap energi dalam bentuk panas laten tanpa meningkatkan suhu lebih lanjut.

·      Pelepasan Energi

Ketika material didinginkan dan berubah kembali ke fase padat, panas laten yang tersimpan dilepaskan ke lingkungan.

 

Jenis-Jenis Phase-Change Material

1.   PCM Organik

     Contoh: Paraffin wax, asam lemak.

     Kelebihan: Stabilitas termal tinggi, tidak korosif, kompatibel dengan banyak bahan bangunan.

     Kekurangan: Kapasitas penyimpanan panas lebih rendah dibandingkan material anorganik.

2.   PCM Anorganik

     Contoh: Garam hidrat.

     Kelebihan: Kapasitas penyimpanan panas tinggi, biaya relatif rendah.

     Kekurangan: Korosif, dapat mengalami segregasi setelah siklus fase berulang.

3.   PCM Eutektik

     Campuran PCM organik dan anorganik yang memiliki suhu leleh tetap.

     Digunakan untuk aplikasi khusus yang membutuhkan kinerja termal tertentu.

 

Sifat-Sifat Pcm

1.   Panas Laten: Kapasitas panas laten tinggi memungkinkan PCM menyimpan energi dalam jumlah besar selama perubahan fase.

2.   Kisaran Suhu Kerja: PCM dapat disesuaikan untuk bekerja pada suhu tertentu, sesuai dengan kebutuhan iklim atau desain bangunan.

3.   Stabilitas Termal: Material harus mampu mengalami banyak siklus perubahan fase tanpa kehilangan sifat penyimpanan panas.

4.   Kepadatan Energi: PCM memiliki kemampuan menyimpan energi lebih tinggi dibandingkan material termal konvensional.

 

Aplikasi PCM dalam Arsitektur

     Dinding

     Plafon Bangunan

     Lantai

     Sistem HVAC

     Jendela dan Shading Devices

 

Keuntungan PCM dalam Penyimpanan Energi Termal

1.   Efisiensi Energi

Mengurangi kebutuhan energi untuk pemanasan atau pendinginan.

Memanfaatkan energi termal dari sumber alami, seperti radiasi matahari.

2.   Kenyamanan Termal

Menstabilkan fluktuasi suhu dalam ruangan, menciptakan lingkungan yang nyaman bagi penghuni.

3.   Ramah Lingkungan

Mengurangi konsumsi energi dan emisi karbon dari sistem mekanis

4.   Integrasi dengan Desain Pasif

Mendukung konsep desain pasif dengan memanfaatkan sumber daya termal alami.

 

Tantangan Dalam Penggunaan PCM

1.   Biaya

PCM masih relatif mahal dibandingkan bahan bangunan konvensional.

2.   Kompatibilitas Material

PCM harus dirancang agar kompatibel dengan bahan bangunan lain untuk mencegah kebocoran atau kerusakan.

3.   Degradasi Kinerja

Siklus fase berulang dapat menyebabkan degradasi sifat termal pada beberapa jenis PCM.

4.   Perluan Kontrol Suhu

Penggunaan PCM memerlukan desain yang cermat untuk memastikan mereka berfungsi pada suhu yang diinginkan.

 

Teori Pendukung

1.   Prinsip Perpindahan Panas:

Proses perpindahan panas dalam PCM melibatkan konduksi selama penyimpanan panas dan konveksi selama pelepasan panas ke lingkungan.

2.   Hukum Termodinamika:

Prinsip penyimpanan dan pelepasan energi dalam PCM sesuai dengan hukum pertama termodinamika, yang menyatakan bahwa energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan, hanya diubah bentuknya.

3.   Thermal Comfort Models:

Model seperti ASHRAE Standard 55 dan Fanger’s PMV/PPD digunakan untuk mengevaluasi dampak PCM terhadap kenyamanan termal penghuni.

Scroll to Top